InfoSAWIT SUMATERA, JAKARTA – Sejumlah perusahaan besar di sektor kelapa sawit Indonesia mendominasi daftar penerima program pengampunan lahan dalam kawasan hutan yang baru saja dirilis oleh Kementerian Kehutanan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025 yang terbit pada 6 Februari lalu, beberapa perusahaan ternama seperti First Resources (Surya Dumai Grup), Sinarmas Agro, dan Astra Agro tercatat sebagai pemohon yang permohonannya sedang diproses.
Dilansir InfoSAWIT Sumatera dari monitorindonesia.com, Selasa (11/3/2025), di Provinsi Riau, dari total permohonan seluas 85.318 hektare, sekitar 51.298 hektare tengah dalam tahap pengampunan. Luasnya lahan yang diajukan untuk pengampunan ini mencerminkan besarnya operasi perusahaan-perusahaan besar di dalam kawasan hutan selama ini.
Berdasarkan data dalam SK tersebut, mayoritas perusahaan yang permohonannya sedang diproses berasal dari kelompok korporasi besar. Beberapa di antaranya adalah Duta Palma Grup, First Resources (Surya Dumai Grup), Sinarmas Agro, dan Astra Agro. Selain itu, terdapat juga perusahaan dari Musim Mas, Salim Ivomas, Mahkota Grup, dan PTPN IV (eks PTPN V).
BACA JUGA: Tim Gabungan Ungkap 188 Kg Sabu di Kebun Sawit Aceh Tamiang
Program pengampunan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, khususnya Pasal 110A. Perusahaan yang permohonannya disetujui akan dikenai kewajiban membayar denda administratif sebagai konsekuensi dari pengampunan tersebut.
Menariknya, tidak semua permohonan dari perusahaan-perusahaan besar ini disetujui sepenuhnya. Misalnya, PT Agro Mitra Rokan yang mengajukan 3.605 hektare lahan, hanya 380 hektare yang diproses sementara 3.225 hektare ditolak. Begitu juga dengan PT Agro Sarimas Indonesia yang mengajukan 4.661 hektare, namun hanya 1.636 hektare diproses dan 3.298 hektare lainnya ditolak.
Sementara itu, beberapa perusahaan mendapat persetujuan penuh atas permohonannya, seperti PT Bumi Sawit Perkasa dan PT Citra Sardela Abadi yang masing-masing mengajukan 5.330 hektare dan 2.439 hektare lahan, serta Adi, dkk yang permohonannya seluas 907 hektare disetujui.
BACA JUGA: Bupati Langkat Resmikan Pabrik Kelapa Sawit PT SIS, Dorong Pengembangan Industri Hilir
Daftar perusahaan di Riau yang mengajukan permohonan diantaranya, PT Bumi Sawit Perkasa (5.330 ha diproses); PT Agro Sarimas Indonesia (1.636 ha diproses, 3.298 ha ditolak); PT Citra Sardela Abadi (2.439 ha diproses); PT Ciliandra Perkasa (2.178 ha diproses, 107 ha ditolak); PT Agro Mitra Rokan (380 ha diproses, 3.225 ha ditolak); PT Central Warisan Indah Makmur (413 ha diproses, 66 ha ditolak); PT Aditya Palma Nusantara (744 ha diproses, 51 ha ditolak); PT Bina Pitri Jaya (313 ha diproses, 65 ha ditolak); PT Air Jernih (370 ha diproses, 27 ha ditolak); Adi, dkk (907 ha diproses); PT Adimulia Agrolestari (102 ha diproses, 272 ha ditolak); PT Air Kampar (128 ha diproses, 1 ha ditolak).
Secara nasional, program ini mencakup 436 entitas hukum dengan total luas permohonan mencapai 1,1 juta hektare. Dari jumlah tersebut, sekitar 790 ribu hektare dinyatakan layak untuk diproses, sementara 317 ribu hektare ditolak.
Penertiban Perizinan oleh Pemerintah
Sebagai bagian dari upaya penertiban kawasan hutan secara menyeluruh, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengambil langkah tegas terhadap pemegang izin yang tidak memanfaatkan lahan sebagaimana mestinya. Berdasarkan evaluasi kinerja, Kementerian Kehutanan mencabut izin Perizinan Berusaha Penguasaan Hutan (PBPH) dari 18 perusahaan.
BACA JUGA: Pemprov Riau Kaji Pembentukan BUMD Perkebunan Sawit
“Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) sebanyak 18 perusahaan dari Aceh hingga Papua dicabut. Total luasnya mencapai 526.144 hektare. Ada pihak swasta yang telah diberi izin untuk memanfaatkan hutan, namun tidak digunakan secara maksimal. Presiden memerintahkan agar fungsi hutan harus dikembalikan untuk menyejahterakan masyarakat,” ujar Raja Juli kepada media bulan lalu.
Keputusan ini berdampak signifikan terhadap industri sawit nasional, terutama bagi perusahaan yang permohonannya ditolak, karena mereka berpotensi menghadapi sanksi hukum. Proses lebih lanjut akan ditangani oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025. (T2)