InfoSAWIT SUMATERA, BANDA ACEH – Matahari baru saja muncul di ufuk timur ketika suara riuh warga Gampong Seuneubok Pusaka, Kecamatan Trumon Timur, Aceh Selatan, kembali terdengar. Mereka berkumpul untuk membahas satu hal yang sudah puluhan tahun menjadi beban pikiran: lahan mereka yang diduga diserobot oleh perusahaan sawit. Di tempat lain, konflik serupa terus membayangi kehidupan masyarakat Aceh, sementara industri kelapa sawit terus melaju dengan ambisi besar.
Namun, di balik deru mesin pengolah sawit dan janji-janji kesejahteraan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh mengingatkan bahwa ada kenyataan pahit yang masih belum tersentuh secara adil. Dalam laporan terbaru Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER), 16 dari 22 perusahaan sawit di Aceh mendapat peringkat merah, mencerminkan kepatuhan lingkungan yang sangat rendah. Tapi bagi WALHI Aceh, peringkat itu saja belum cukup untuk menggambarkan peliknya permasalahan lingkungan dan sosial yang terjadi.
“Banyak perusahaan sawit di Aceh yang masih beroperasi tanpa mematuhi standar lingkungan hidup. Mereka membuang limbah ke sungai, merusak hutan, dan memperparah konflik agraria dengan masyarakat setempat,” kata Afifuddin Acal, Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, dilansir InfoSAWIT Sumatera dari dialeksis.com, Kamis (27/2/2025).
BACA JUGA: Industri Sawit dan Visi Indonesia Emas 2045, Hilirisasi dan Keberlanjutan Jadi Fokus
Menurut WALHI Aceh, pencemaran sungai akibat limbah sawit sudah menjadi keluhan utama warga di berbagai daerah. Sumber air yang dulu jernih dan menjadi penopang kehidupan kini berubah warna, berbau, dan tak lagi layak dikonsumsi. Sayangnya, pengawasan terhadap perusahaan masih lemah, dan sebagian besar dari mereka tetap beroperasi tanpa sanksi yang berarti.
Tidak hanya lingkungan yang terancam, tetapi juga hak-hak masyarakat adat dan petani lokal. Banyak komunitas di Aceh yang menggantungkan hidup pada hutan dan lahan pertanian, namun ekspansi sawit terus menekan ruang hidup mereka. Di Gampong Jambo Reuhat, Banda Alam, Aceh Timur, masyarakat masih berjuang mendapatkan hak atas tanah yang mereka kelola turun-temurun. Konflik lahan ini sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa penyelesaian konkret, sementara warga terus dihadapkan pada ancaman kehilangan sumber penghidupan mereka.
Lebih jauh, WALHI Aceh juga menyatakan bagaimana ekspansi sawit yang tak terkendali mengganggu keseimbangan ekosistem. Habitat satwa liar seperti gajah, harimau, dan orangutan semakin terdesak, memicu konflik antara manusia dan hewan liar yang semakin sering terjadi. Ketika jalur migrasi mereka terputus akibat perkebunan sawit, satwa-satwa ini terpaksa masuk ke permukiman dan menyebabkan kerusakan.
BACA JUGA: DPRD Sumut Desak Pengambilalihan 221 HGU Tak Aktif
Di tengah berbagai permasalahan ini, WALHI Aceh meminta agar proses penilaian PROPER lebih transparan dan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung. “Selama ini, PROPER diberikan oleh pemerintah tanpa memperhitungkan suara masyarakat yang merasakan langsung dampak dari operasional perusahaan. Seharusnya mereka juga diberi ruang untuk berpartisipasi dalam penilaian ini,” tegas Afifuddin.
Ke depan, WALHI Aceh berharap ada langkah konkret dari pemerintah untuk memastikan bahwa perusahaan sawit benar-benar bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial. Bukan hanya peringkat merah, tetapi juga tindakan nyata untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi. (T2)