InfoSAWIT SUMATERA, BANDA ACEH – Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh mengajak petani kelapa sawit rakyat untuk segera mempercepat proses sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Langkah ini dianggap penting untuk meningkatkan keberlanjutan industri sawit dan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.
Sekretaris Distanbun Aceh, Azanuddin Kurnia, mengungkapkan bahwa dari total 263 ribu hektare perkebunan sawit rakyat di Aceh, baru sekitar 2.000 hektare yang telah tersertifikasi ISPO. “Selebihnya belum memiliki sertifikasi,” kata Azanuddin, dikutip InfoSAWIT Sumatera dari Antara, Senin (14/10/2024).
Ia menjelaskan bahwa sertifikasi ISPO sudah lama diakui sebagai standar untuk memastikan industri sawit Indonesia beroperasi dengan menjaga aspek lingkungan, administrasi, dan ketenagakerjaan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020 dan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020, seluruh perkebunan sawit, baik milik rakyat maupun perusahaan, wajib tersertifikasi ISPO paling lambat pada 2025.
BACA JUGA: Bank Aceh Syariah Gelar Pelatihan Peningkatan Produktivitas bagi Petani Sawit di Nagan Raya
“Jika perkebunan tidak tersertifikasi ISPO, tandan buah segar (TBS) dan crude palm oil (CPO) dari perkebunan tersebut tidak akan diterima di pasar global karena dianggap tidak memenuhi standar kualitas,” tambah Azanuddin. Hal ini menjadi ancaman serius bagi sekitar 146 ribu kepala keluarga di Aceh yang menggantungkan hidupnya pada komoditas sawit.
Kondisi ini mulai terlihat di Aceh Tamiang, di mana salah satu pabrik kelapa sawit (PKS) sudah menolak membeli buah sawit jenis dura yang dianggap memiliki kualitas rendah. “Buah dura tidak dibeli karena rendemennya sangat rendah,” jelasnya.
Meski sertifikasi ISPO menjadi kewajiban nasional, pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tidak memiliki kewenangan langsung dalam penerbitannya. Namun, mereka berupaya membantu petani melalui program rintisan ISPO yang mendukung petani dalam memenuhi persyaratan sertifikasi.
BACA JUGA: USU dan Institut Teknologi Muroran Jepang Perkuat Kerja Sama Riset Teknologi dan Kelapa Sawit
Azanuddin juga mengakui bahwa biaya pengurusan ISPO menjadi tantangan besar bagi petani kecil. “Banyak petani tidak mampu mengurus sertifikasi karena biaya yang tinggi. Bahkan untuk membeli pupuk saja mereka kesulitan, apalagi mengurus ISPO,” katanya.
Dengan deadline sertifikasi pada 2025 yang semakin dekat, Azanuddin menekankan perlunya perhatian serius dari pemerintah pusat untuk meringankan beban regulasi bagi petani sawit rakyat. “Kami berharap ada kemudahan dari sisi regulasi di tingkat pusat agar petani bisa lebih cepat mendapatkan sertifikasi ISPO,” tutupnya. (T2)