InfoSAWIT SUMATERA, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama tujuh Simpul Jaringan (SJ) Pantau Gambut merilis hasil studi investigasi restorasi gambut di tujuh provinsi di Indonesia. Studi ini mengungkapkan berbagai permasalahan yang menghambat upaya restorasi lahan gambut, mulai dari kebakaran hutan hingga eksploitasi lahan oleh industri ekstraktif.
Muhammad Hairul Sobri, Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Sumatera Selatan, menjelaskan bahwa kebakaran, deforestasi, dan degradasi lahan gambut berakibat pada pelepasan emisi gas rumah kaca, kabut asap, hilangnya keanekaragaman hayati, dan dampak sosial ekonomi. Industri perkebunan sawit dan hutan yang menguasai lebih dari 70% kawasan gambut menjadi faktor utama kerusakan. “Upaya restorasi lahan gambut akan gagal jika industri ini tetap diberi ruang untuk eksploitasi,” tegasnya, dikutip InfoSAWIT Sumatera dari Redaksisatu, ditulis Senin (5/8/2024).
Sulfianto, dari Simpul Jaringan Pantau Gambut Papua, menyatakan bahwa restorasi gambut di Papua minim pemantauan. “Tidak ada lembaga pemerintah yang tertarik memantau isu ini, padahal ekosistem gambut di wilayah izin perusahaan terus terdegradasi,” katanya.
BACA JUGA: Sidang Class Action Koperasi Sawit Timur Jaya Kembali Digelar di Rokan Hulu
Hendrikus Adam, Direktur WALHI Kalbar, mengkritik praktik ekonomi ekstraktif yang merusak ekosistem gambut melalui proses kanalisasi. “Ini bukan hanya berdampak pada krisis iklim tetapi juga melahirkan persoalan sosial serius. Restorasi yang diharapkan jauh dari harapan,” ujarnya.
Ferry, Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Jambi, menyebut restorasi di wilayahnya dilakukan setengah hati. “Konsesi di KHG Sungai Batanghari-Air Hitam Laut penting untuk menjaga keseimbangan tata air dan keanekaragaman hayati. Namun, upaya restorasi yang dilakukan justru membuat lahan rawan terbakar,” ungkapnya.
Ibrahim dari Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau, menilai restorasi di Riau lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas. “Sekat kanal rusak, sumur bor tidak berfungsi, dan revitalisasi ekonomi hanya mimpi. Anggaran besar yang dikeluarkan negara tidak berdampak apa-apa,” tegasnya.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Jambi Naik Rp 39,61/Kg menjadi Rp 2.988,63/Kg
Ahmad Saini dari Nugal Institut menyatakan bahwa ekosistem gambut di Kalimantan Timur mengalami degradasi signifikan. “Belum ada program pemulihan, restorasi, maupun infrastruktur pencegahan kebakaran lahan. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit memperparah kondisi,” jelasnya.