InfoSAWIT SUMATERA, JAKARTA – Industri hulu-hilir sawit menjadi barometer kemajuan komoditi tanaman perkebunan lainnya. Namun, persepsi ini sering keliru, terutama jika dikaitkan dengan nasib perkebunan sawit rakyat. Berdasarkan survei Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), kemajuan hulu-hilir sawit Indonesia tidak terlepas dari peran sentral Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Ketua Umum DPP APKASINDO, Gulat ME Manurung, menjelaskan bahwa masyarakat sering salah paham mengenai dana yang dikelola BPDPKS. “Dana tersebut berasal dari pungutan ekspor (levy) yang membebani sektor hulu, bukan dari APBN,” ujar Gulat dalam keterangannya kepada InfoSAWIT Sumatera, Sabtu (27/7/2024). Pada periode Juli 2024, levy sebesar US$85/MT CPO berdampak pada penurunan harga TBS petani sebesar Rp285/kg TBS.
Gulat juga menyinggung prestasi BPDPKS selama sembilan tahun terakhir dalam bidang teknologi biofuel, sumber daya manusia, dan kampanye sawit baik. Namun, sektor yang berhubungan langsung dengan produktivitas sawit rakyat masih belum mencapai target sebagaimana diamanatkan Presiden Jokowi. Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) hingga akhir 2023 baru mencakup 322.429 hektar, atau 64% dari target 500 ribu hektar untuk periode 2017-2023, jauh di bawah total kebun sawit rakyat seluas 2,8 juta hektar.
BACA JUGA: 12 Ha Lahan Terbakar, BPBD Nagan Raya Berjuang Memadamkan
Menurut Gulat, rendahnya capaian PSR bukan sepenuhnya kesalahan BPDPKS, melainkan karena banyaknya kementerian/lembaga yang terlibat dalam program kerja BPDPKS. “Ada 34 kementerian/lembaga yang ikut campur dalam program kerja BPDPKS,” ungkapnya. Hasil riset APKASINDO menunjukkan bahwa 84% petani gagal mengikuti PSR karena klaim kawasan hutan, 62% mengeluhkan persyaratan yang rumit, dan 86% menyatakan dana PSR sebesar Rp30 juta per hektar terlalu minim.
Dalam hal dana BPDPKS untuk sarana dan prasarana (sarpras), capaiannya jauh dari harapan Presiden Jokowi. Serapan dana untuk pupuk, jalan, jembatan, kendaraan panen, dan UPT Pengolahan TBS Pekebun hanya berkisar 2-5% dari tahun ke tahun, dengan UPT Pengolahan TBS Pekebun praktis 0%.
Gulat menegaskan bahwa rendahnya capaian ini bukan akibat tidak bekerjanya BPDPKS, tetapi karena persyaratan yang berat dari Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Kepdirjenbun No 62 tahun 2023. “Dana yang disiapkan BPDPKS Rp 5,4 triliun per tahun untuk PSR 180 ribu hektar hanya terserap rata-rata 25%,” ujarnya.
BACA JUGA: BRIN Kunjungi Pasaman Barat Guna Tingkatkan Produksi Gula Merah Sawit
Pemerintah Indonesia berencana memperluas peran BPDPKS menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) yang mencakup lebih banyak komoditas seperti kakao, kelapa, dan karet. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa perubahan ini bertujuan mendorong ekonomi daerah penghasil komoditas perkebunan, terutama di Sumatera dan Kalimantan.
Gulat mendukung perubahan ini dengan catatan bahwa BPDP yang akan memiliki tiga direktorat (sawit, kakao, dan kelapa) memiliki wewenang masing-masing dalam pengelolaan dana yang bersumber dari masing-masing komoditi yang diatur oleh Perpres. “Kami mengusulkan BPDP menjadi badan setara Badan Pangan dan badan lainnya yang langsung di bawah Presiden,” tambah Gulat. Namun, jika masih mengadopsi cara penyaluran dana melalui verifikasi kementerian teknis, nasib petani kakao, karet, dan kelapa akan sama dengan petani sawit saat ini. (T2)