InfoSAWIT SUMATERA, JAKARTA – Pemerintah sudah bertekad untuk mengurangi, atau bahkan menghentikan, impor jagung yang setiap tahun diprediksi bisa mencapai 500.000 ton.
Salah satu wujud dari tekad tersebut adalah dengan melaksanakan optimalisasi lahan perkebunan kelapa sawit yang sedang menjalani program peremajaan sawit rakyat (PSR).
Atau pun optinalisasi kebun sawit yang saat ini sedang memasuki fase tanaman belum menghasilkan (TBM) atau belum bisa dilakukan panen perdana karena masih berada pada usia tanam di bawah tiga tahun.
Optimalisasi Kebun Sawit TBM untuk Peningkatan Produksi Jagung Sesuai Arahan Presiden
Nah, menurut Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) pada Kementerian Pertanian (Kementan), Andi Nur Alam Syah, optimalisasi tersebut dilakukan dengan sistem tumpangsari atau integrasi.
“Program integrasi tanaman perkebunan dengan tanaman pangan menjadi salah satu strategi tepat jitu,” ucap Dirjenbun dalam keterangan resmi yang diperoleh InfoSAWIT SUMATERA, Sabtu (18/11/2023).
Kata dia, tumpangsari tersebut merupakan sebuah upaya khusus Pemerintah di saat kondisi masyarakat global sedang mengalami krisis pangan.
Andi bilang, Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) punya program khusus untuk merealisasikan hal tersebut yang dinamakan program kelapa sawit tumpang sari tanaman pangan atau Program KESATRIA.
Kata dia, program ini harus benar – benar bisa diimplememtasikan, dan tentu saja disesuaikan dengan standar yang dimungkinkan secara teknis di lapangan.
“Mengapa harus dengan jagung tumpangsarinya? Sebab, tingkat kebutuhan jagung nasional sebanyak 14 juta ton per tahun,” ungkap Dirjenbun.
Kebutuhan tersebut, kata dia, belum bisa dinaksimalkan dari pasokan dalam negeri, sehingga membuat Pemerintah akhirnya selalu menjadikan impor menjadi jalan keluar.
“Jagung sangat dibutuhkan oleh Indonesia sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pangan, tidak hanya untuk kebutuhan pakan ternak,” kata dia.
Indonesia, sambing Dirjenbun, berpotensi menghemat devisa dari impor jagung yang dapat disubtitusikan sebagai insentif di sektor hulu perkebunan sawit.
Andi Nur menambahkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor jagung sebanyak 1,09 juta ton pada tahun 2022.
Volume tersebut, ujarnya, naik 9,89 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 995.998 ton.
“Bahkan di tahun 2023 ini Pemerintah berencana mengimpor jagung sebanyak 500.000 ton untuk mengisi cadangan pemerintah dan memenuhi kebutuhan peternak rakyat,” beber Dirjenbun.
Ia sangat yajin, kalau saja optimalisasi lahan perkebunan, khususnya kelapa sawit, dapat memenuhi produksi jagung 500.000 ton, tentu impor bisa kurangi atau bahkan bisa kita stop.
Ia berharap tekad Pemerintah tersebut bisa menjadi momentum kebangkitan industri kelapa sawit Indonesia ke depan dengan mengoptimalkan potensi lahan perkebunan yang ada.
“Saya optimis sawit Indonesia Berkelanjutan akan terwujud melalui sinergi multi pihak dalam mengakselerasi kolaborasi semua pihak,” tegas Dirjenbun.(T5)