InfoSAWIT SUMATERA, BOGOR – Dua pasal dalam undang-undang cipta kerja (UUCK) yang rencananya dipakai Pemerintah untuk mengampuni perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, dinilai telah mengabaikan proses pidana.
“Upaya pengampunan sawit yang sedang digalakkan Pemerintah dapat menjadi preseden buruk dalam upaya perbaikan tata kelola sawit,” kata Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch.
Hal itu dikatakan pria yang akrab disapa Rambo ini dalam sebuah keterangan resmi yang diberikan kepada InfoSAWIT SUMATERA, Selasa (27/6/2023).
Rambo menanggapi pernyataan Menteri Koordinator (Menko) Maritim dan Investasi (Marves) yang juga Ketua Pengarah Tim Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, Luhut Binsar Panjaitan, pada akhir pekan yang lalu.
Sekadar informasi, dua pasal dalam UUCK yang dimaksud Rambo adalah pasal 110 A dan pasal 110 B yang memberikan ruang pengampunan sawit dalam kawasan menggunakan mekanisme sanksi atau denda administratif saja.
Dua Pasal UUCK Bakal Dikenakan Tim Satgas ke Para Pelaku Usaha Sawit. Ini Pasal dan Isinya!
Kata Achmad Surambo, persoalan sawit dalam kawasan hutan merupakan persoalan yang sudah sejak lama dan mengakar di perkebunan sawit hingga saat ini.
Penyelesaiannya pun, kata dia, sudah dimulai sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan menghasilkan sejumlah kebijakan.
Seperti, kata Rambo, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60/2012, PP 104/2015, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2018 hingga terakhir melalui UUCK dan kebijakan turunannya.
Ia mengkritik cara Pemerintah dalam penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan berupa pengampunan yang dapat menjadi preseden buruk dalam upaya perbaikan tata kelola sawit.
Pasalnya, ucap Rambo, upaya tersebut justru mengabaikan proses pidana dengan hanya memberikan sanksi berupa denda administratif atas tindakan perambahan kebun sawit yang dilakukan di area hutan tersebut.
Mereka melihat upaya ini sebagai bentuk shortcut atau jalan pintas semata dalam menyelesaikan persoalan ini.
Pihaknya sangat yakin kalau Pemerintah menggunakan UUCK menjadi landasan hukum proses ini justru berpotensi membawa masalah yang baru.
“Karena UUCK ini masih berproses judicial review atai peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga akan memunculkan permasalahan baru,“ tambah Rambo.
Pihaknya melihat Pemerintah seperti tidak memiliki langkah dan upaya lain yang dapat ditempuh selain pengampunan atau pemutihan ini.
Padahal, kata Rambo, banyak contoh penyelesaian sawit dalam kawasan yang pernah diselesaikan melalui jalur hukum.
Terkait Self Reporting Lahan, Ini Harapan Satgas Sawit ke Media
“Misalnya kasus di Register 40. Dalam kalau ini Mahkamah Agung (MA) memutuskan kebun sawit seluas 47.000 hektar (Ha) yang ada di dalam kawasan hutan di Register 40 Padang Lawas (Palas), Sumatera Utara (Sumut) dan disita oleh negara,” kata Rambo.
Contoh lain, kata Rambo, dalam kasus minyak goreng bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tiga grup besar sawit.
Yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group sebagai tersangka korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng.
Hal ini, kata Rambo, menunjukkan bahwa pendekatan hukum masih sangat relevan untuk dilakukan dalam menangani kasus serupa di Indonesia.
Sebagai pengingat saja, dalam konferensi pers pada akhor pekan yang lalu, Luhut memberikan pernyataan terkait perkebunan kelapa sawit yang ada di dalam kawasan hutan.
Menurut pihak Sawit Watch, saat itu Luhut Binsar Panjaitan bilang begini, “Ya (diputihkan). Kita mau apain lagi? Masa kita mau copotin (tanamannya). Ya pakai logika saja, kita putihkan terpaksa”. (T5)