InfoSAWIT SUMATERA, JAKARTA – Selama krisis minyak goreng berlangsung di tahun 2021-2022, pihak produsen diduga tidak mematuhi harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemerintah.
Dari keterangan rrsmi yang diterima InfoSAWIT SUMATERA, Sabtu (27/5/2023), disebutkan hal ini diungkapkan oleh pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat menggelar persidangan terkait kasus minyak goreng.
Persidangan itu sendiri digelar di Jakarta, Jumat (26/5/2023). Dalam putusannya, Majelis Komisi menjelaskan bahwa pasar bersangkutan dalam perkara a quo adalah penjualan minyak goreng kemasan dengan bahan baku kelapa sawit di seluruh wilayah Indonesia.
Dugaan Kartel Minyak Goreng, 7 Perusahaan Didenda Rp 71 Miliar
Struktur pasar dalam industri minyak goreng disimpulkan sebagai oligopoli ketat dengan konsentrasi pasar tinggi, yakni dengan konsentrasi rasio empat grup pelaku usaha sebesar 71,52 persen.
Kemudian, memiliki produk yang homogen dan berbagai hambatan masuk pasar.
Ini dinilai mempengaruhi perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar termasuk potensi terjadinya penetapan harga minyak goreng yang diduga dilakukan oleh para terlapor.
Soal Rafaksi Minyak Goreng, Ini Permintaan KPPU ke Pemerintah
Dalam persidangan, Majelis Komisi menemukan bahwa berdasarkan rasio input dan output di sektor tersebut, pada periode pelanggaran lebih besar daripada rasio sebelum periode pelanggaran.
Ini menunjukan bahwa kenaikan harga pada periode pelanggaran terjadi akibat adanya kenaikan harga input, sehingga margin keuntungan yang diperoleh menjadi semakin kecil.
Dengan demikian, KPPU menyebutkan para terlapor dapat disimpulkan tidak melakukan penetapan harga untuk minyak goreng kemasan sederhana dan kemasan.
Pakar Nilai Kebijakan HET dan Rafaksi Minyak Goreng Tidak Tepat
Majelis Komisi juga menemukan bahwa para terlapor tidak patuh kepada kebijakan pemerintah terkait dengan harga eceran tertinggi (HET).
Yakni dengan melakukan penurunan volume produksi dan atau volume penjualan selama periode pelanggaran.
“Tindakan tersebut dilakukan secara sengaja untuk mempengaruhi kebijakan HET,” kata pihak Majelis Komisi dalan persidangan tersebut.
Faktanya, pada saat kebijakan HET dicabut, serta merta pasokan minyak goreng kemasan kembali tersedia di pasar dengan harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum terbitnya kebijakan HET.
Ketidakpatuhan ini menimbulkan kelangkaan minyak goreng yang berakibat pada penurunan kesejahteraan atau deadweight loss masyarakat.
Perilaku penurunan volume produksi dan atau volume penjualan pada periode pelanggaran meskipun bahan baku tersedia ini, merupakan perilaku pelaku usaha yang tidak jujur.
Urusan Rafaksi Minyak Goreng Akhirnya Dikaitkan ke Kejaksaan Agung
serta, kata Majelis Komisi, menghambat persaingan usaha dalam melakukan kegiatan produksi dan atau pemasaran minyak goreng kemasan.(T5)